(1258-1343 M)
Oleh : Ading Kusdiana
E-mail: adingkusdiana@yahoo.co.id
A.Pendahuluan
Dinasti Ilkhan dikenal dalam berbagai literatur sejarah Islam sebagai salah satu dinasti yang dibangun oleh orang-orang non-Muslim yang kemudian dalam perjalanannnya menjadi sebuah Dinasti Islam. Dinasti Ilkhan muncul ke panggung sejarah dimulai dari pertengahan abad XIII M (tahun 1258 M) sampai dengan dekade keempat dari abad XIV M (Tahun 1343 M), yang wilayah kekuasaannnya meliputi Anatolia, Syiria, Irak, Persia Afghanistan dan India Utara dengan pusat kekuasaannnya di Tabriz. Dengan demikian dinasti ini eksis memerintah kurang lebih selama 85 tahun (Lihat Arthur Goldshmidt, 1983: 116).
Dinasti ini sebenarnya didirikan oleh orang-orang Mongol yaitu oleh Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan yang sejak awal abad XIII M telah banyak melakukan invasi terhadap wilayah-wilayah Islam khususnya ke kawasan Asia Tengah, seperti Turkistan dan Transoxiana. Kehadiran bangsa Mongol, yang kemudian ditindaklanjuti dengan proses penguasaan mereka melalui dinasti Ilkhan, bagi masyarakat Muslim di kawasan tersebut mungkin kerap dipandang sebagai malapateka karena kehadirannnya yang lebih banyak merugikan masyarakat Muslim di wilayah itu.
Sebagai salah satu bukti yang memperkuat dari paparan di atas di atas dapat dilihat dari momentum kronologi keruntuhan Khilafah Abbasiyah yang telah diporak-porandakan baik suprastruktur politik, infrastruktur bangunan, kekayaan materil maupun kekayaan spiritualnya. Padahal keberadaan kekhilafahan ini telah eksis selama lima abad sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam, bahkan dunia.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri Khilafah Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut lenyap dibumihanguskan oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan (Badri Yatim, 1997 ; Muhammad Sayyid al-Wakil, 1998).
Pada masa inilah banyak terjadi tragedi kemanusian. Penyerbuan-penyerbuan yang sangat dahsyat yang dilakukan oleh bangsa Mongol terhadap apa yang dilaluinya dapat dikatakan sebagai tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah umat Islam, dan mungkin dalam konteks sekarang dapat disebut sebagai suatu peristiwa pelanggaran HAM yang paling mengerikan. Dalam peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada tahun-tahun permulaan abad ke XIII M atau 7 Hijriyah itu, serbuan bangsa Mongol bagai air bah. Kehadirannnya melabrak apa saja yang dilaluinya, tidak peduli dihadapannnya ada anak kecil, masjid, istana, orang tua, gedung, mushala, ataupun benda-benda berharga dan budaya semuanya dihancurkan, dibakar, disembelih tanpa ada rasa kemanusiaan.
Secara umum potret peradaban Islam itu sendiri pada masa penguasaan orang Mongol acapkali digambarkan sedang berada dalam kondisi suram untuk tidak dikatakan telah mencapai titik nadir. Betapa tidak, di samping secara politis masyarakat Muslim telah kehilangan suprastruktur politik yang bisa menjamin masa depan kehidupannnya, ternyata selama penguasaan bangsa Mongol, keberadaanya telah membawa dampak negatif terhadap kehidupan sosio-religius masyarakat Muslim. Fakta menunjukkan bahwa setelah penyerbuan dan selama penguasaan Bangsa Mongol, perkembangan Islam cenderung stagnan dan terpuruk baik secara politis, agama, ekonomi, sosial maupun budaya (Lihat Harun Nasutin, 1993 : 13)
Dari paparan tersebut di atas akhirnya mengemuka beberapa pertanyaan yang menarik untuk diteliti, di antaranya bagaimana sejarah keberadaan Dinasti Ilkhan? Benarkah potret peradaban Islam pada masa penguasaan dinasti Ilkhan sebagai salah satu dinasti yang merefresentasi keberadaan bangsa Mongol sangat suram? Apakah Dinasti Ilkhan memiliki kontribusi di dalam upaya mengembangkan peradaban Islam? Seperti bagaimanakah kebijakan para penguasa Dinasti Ilkhan di dalam usaha memajukan peradaban masyarakatnya, sehubungan di antara mereka ada yang sudah memeluk agama Islam? Apakah sama kebijakan dari para penguasa Dinasti Ilkhan yang sudah beragama Islam dengan yang masih menganut agama Syamanism ataupun Kristen Nestorian?
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memecahkan berbagai kompleksitas keraguan dari persoalan-persoalan itu. Oleh karena itu, untuk menjawabnya, maka metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah, dengan harapan bisa menjawab dan memecahkan semua pertanyaan-pertanya itu.
B. Dinasti Ilkhan: Asal-usul dan Sejarah Keberadaannnya
Dinasti Ilkhan adalah sebuah dinasti yang dibangun oleh orang-orang Mongol, ketika mereka berhasil menginvasi dan menguasai Baghdad sebagai pusat kekuasaan dari Khilafah Abbasiyah. Dinasti Ilkhan berdiri pada tahun 1258, pada saat Hulagu Khan berhasil memantapkan kekuasaannya di Baghdad (Harun Nasution, 1985: 80). Ilkhan sendiri artinya artinya warga khan yang agung (C.E. Bosworth, 1993:176). Ilkhan juga adalah gelar yang diberikan kepada Hulaghu Khan sebagai bentuk penghargaan terhadap prestasi-prestasinya yang diperolehnya ketika sukses melakukan ekspansi wilayah dan mengalahkan setiap musuh-musuhnya.
Dinasti Ilkhan memerintah di wilayah yang memanjang dari Asia Kecil di Barat dan India di Timur dengan ibukotanya Tabriz. Di wilayah itu sekarang membentang negara Turki, Syiria, Irak, Iran, Uzbekistan dan Afghanistan. Selama dinasti ini berkuasa, terdapat 16 raja yang pernah berkuasa. Di antara raja-raja tersebut yang pertama adalah Hulaghu Khan, seorang raja Mongol dari Dinasti Ilkhan yang merupakan anak dari Tuli Khan. Ia merupakan cucu dari Jangis Khan dan beragama Syamanism. Masa kekuasaan dari Hulagu Khan hanya berlangsung selama tujuh tahun karena pada tahun 1265 ia meninggal dunia.
Hulagu Khan digantikan anaknya yang bernama Abaga Khan. Ia merupakan salah satu di antara penguasa Dinasti Ilkhan yang memerintah paling lama, yaitu selama 17 tahun (Muhammad Sayyid al-Wakil, 1998: 270). Ia memerintah dari tahun 1265 s.d.1282 M. Berbeda dengan bapaknya yang beragama Syamanism, maka Abaga Khan adalah seorang pemeluk agama Kristen Nestorian. Selanjutnya, penguasa ketiga dari dinasti ini adalah Ahmad Teguder. Ia memerintah dari tahun 1282 s.d.1284 M. Pada tahun 1284 hanya karena telah beralih agama dengan menjadi seorang Muslim, ia dibunuh oleh Argun, yang kemudian menggantikannnya menjadi raja Dinasti Ilkhan (1284-1291). Raja yang keempat ini adalah penganut agama Kristen Nestorian militan, yang karena kefanatikannnya banyak melakukan tindakan refresif dengan mengusir dan membunuh orang-orang Islam (Hassan Ibrahim Hassan, 1989: 307).
Selanjutnya raja Mongol yang kelima adalah Gaygathu. Ia memerintah selama empat tahun, dari tahun 1291 sampai dengan 1295. Ia kemudian digantikan oleh Baydu yang memerintah tidak lama, kurang lebih dari setahun, yakni masih dalam tahun 1295. Dari masa Hulagu Khan sampai Baydu, kecuali Ahmad Teguder, seluruh penguasa Dinasti Ilkhan adalah non-Muslim. Dengan demikian umat Islam yang ada di kawasan tersebut diperintah dan dikuasai oleh penguasa-penguasa Dinasti Ilkhan yang non-Muslim. Diprediksikan pada periode ini tidak ada sebuah perkembangan yang berarti bagi masyarakat Muslim terutama yang menyangkut perkembangan Islam dan peradabannnya, karena memang penguasa-penguasa dari dinasti Ilkhan pada periode ini adalah orang-orang yang tidak memiliki perhatian terhadap Islam. Yang menarik bisa jadi adalah sebuah ironisme, yaitu masyarakat Muslim yang jumlahnya sebagai mayoritas diperintah minoritas non-Muslim yang berasal dari luar.
Sebuah tanda-tanda angin baik dari Dinasti Ilkhan terhadap umat Islam muncul pada masa penguasa Dinasti Ilkhan yang ketujuh dan yang sesudahnya. Pada 1295 M Mahmud Ghazan diangkat sebagai raja yang ketujuh. Mahmud Ghazan (1295-1304), adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya Mahmud Ghazan, Islam sedikit demi sedikit mulai meraih kemenangan yang sangat besar terhadap agama Syamanism. Bahkan pada periode ini seperti yang dikemukakan C.E. Bosworth ( 1993: 176), ketika tekanan kultural dan keagamaan dari lingkungan Persia semakin besar, maka para penguasa dari Dinasti Ilkhan mulai merenggangkan hubungannnya dengan raja-raja agung di Cina.
Ada sinyalemen, para penguasa dari dinasti Ilkhan sejak masa kekuasaan raja ini mulai memperhatikan Islam dan kepentingan masyarakat Muslim, dan sekaligus mereka mulai memposisikan dirinya melalui pembauran dengan lingkungan masyarakat di sekelilingnya. Sejak masa ini masyarakat Muslim, terlebih orang Muslim di Iran telah mendapatkan kemerdekaannnya kembali (Badri Yatim, 1997: 115-117).
Mahmud Ghazan digantikan Muhammad Khudabanda Uljaetu (1304-1317 M). Figur Muhammad Khudabanda Uljaetu di samping sebagai seorang yang taat memegang agama Islam, ia adalah seorang penganut dan pembela madzhab Syiah (Hamka, 1975: 49-50). Ia mengendalikan pemerintahan Dinasti Ilkhan selama kurang lebih 14 tahun, sampai kemudian digantikan oleh Abu Said (1317-1335 M.) .
Dinasti Ilkhan mengalami kemunduran pasca pemerintahan Abu Said. Perlu diketahui bersama pada masa ini Dinasti Ilkhan diperintah Raja Arpha, Musa, Muhammad, Jahan Timur, Sati Bek dan Sulaeman. Mereka semua adalah figur raja-raja yang lemah, karena di masa ketujuh raja ini di wilayah kerajaan Dinasti Ilkhan banyak terjadi perpecahan dan pertikaian, sampai kemudian wilayah kekuasaannnya digantikan oleh dinasti-dinasti lokal seperti Dinasti Jalayiriyah, Muzhaffariyyah dan Sarbadariyyah di Khurasan ( Lihat C.E. Bosworth, 1993: 175). Selanjutnya, sampai dengan dengan dekade keempat dari abad XIV, tepatnya di tahun 1343 H kekuasaan dari Dinasti Ilkhan sudah tidak ada dan sisa-sisa dari wilayah kekuasaannnya di masa kemudian diambil alih dan dipersatukan oleh Timur Lenk sebagai satu kesatuan integritas di bawah panji-panji kekuasaannya.
C. Pola Pemerintahan Dinasti Ilkhan dan Gambaran Kehidupan Masyarakatnya
Dinasti Ilkhan telah eksis lebih dari delapan dasawarsa. Ketika membicarakan dinasti Ilkhan, di kalangan para peneliti atau pemerhati sejarah umumnya mereka bersepakat bahwa Dinasti Ilkhan yang memerintah di wilayah Iran, Irak, Anatolia dan daerah-daerah lainnnya didirikan di atas banjir darah manusia dan puing-puing kehancuran dari institusi kekuasaan yang dihancurkannnya. Pandangan ini tidaklah keliru dan bisa dipahami, karena Hulagu Khan sebagai pendiri dari dinasti Ilkhan beserta tentaranya, kehadirannnya ke berbagai wilayah hanya mendatangkan malapetaka dan menimbulkan bencana bagi manusia.
Fakta sejarah telah banyak menunjukkan bahwa pada saat Hulagu Khan melakukan penyerbuan banyak penduduk dari beberapa kota dan kampung dimusnahkan secara sistemik. Di setiap daerah yang dijumpai acapkali ditemukan telah kosong dan menjadi tidak berpenduduk disebabkan oleh kehadiran pasukan penyerbu dan oleh gelombang tentara Mongol yang mengusir kaum petani. Kaum penyerbu tersebut membantai penduduk setempat, menjadikan mereka sebagai budak dan membebani mereka dengan pajak, sehingga menyita seluruh kekayaan mereka. Dalam konteks ini Ira M. Lapidus (1999:428) sampai menyatakan penyerbuan Hulagu Khan sebagai sebuah bencana besar yang melanda penduduk akibat pembantaian dan pembunuhan. Tidak hanya itu, kehidupan perekonomian pun hancur karena selama satu abad atau lebih salah satu sumber penghidupan masyarakat Iran yaitu kerajinan tembikar dan pengolahan logam tidak bisa berproduksi.
Rezim dari Dinasti Ilkhan yang berkuasa di Iran, Irak, Anatolia, pada kenyataannnya lebih merupakan sebuah rezim penakluk. Dinasti ini dibentuk dari sebuah pasukan besar yang dihimpun dari para aristokrasi militer kesukuan yang bersekutu dengan dinasti yang sedang berkuasa. Kelompok aristokrat ini dalam perjalanannya telah memandang diri mereka sendiri sebagai manusia istimewa yang berhak mendominasi dan memungut pajak kepada rakyatnya. Rasa superioritas ini terefleksi dari sebuah undang-undang yang dimilikinya, Alyasak, yang menetapkan hak-hak dan kewajiban kalangan elite dan pengesahan pemerintahannnnya(Hassan Ibrahim Hassan, 1967: 136-139).
Raja-raja Dinasti Ilkhan memerintah di Iran, Irak, Anatolia dan daerah-daerah disekelilingnya dilakukan dengan me-manaje distribusi tanah kepala-kepala militer untuk mengolahnya atau memungut pajak atasnya. Selanjutnya kepala-kepala militer tersebut membagi-bagikan tanah tersebut di antara anak buah mereka. Padang rumput dan tanah garapan dipadukan menjadi sebuah pertanahan yang disebut Tuyul, sebuah konsep yang memadukan cita-cita Mongolian tentang distribusi padang rumput dan konsep administratif Iran tentang distribusi hak mengumpulkan pajak (Ira M. Lapidus, 1999: 430).
Kemudian , roda pemerintahan Mongol dijalankan dengan menggantungkan diri melalui dukungan keluarga-keluarga bangsawan setempat, sebagaimana yang pernah terjadi pada beberapa dinasti Seljuk sebelumnya. Kebijakan para penguasa Dinasti Ilkhan dalam melaksanakan roda pemerintahannnya berusaha menyatukan diri dengan beberapa birokrat, para pedagang, dan ulama perkotaan Iran. Ulama melanjutkan atau memperkokoh kedudukan mereka dengan memposisikan diri sebagai elit lokal. Para ulama pada masa Dinasti Ilkhan umumnya banyak mengisi jabatan qadhi, dai, kepala pasar, dan sejumlah jabatan lainnya (Ira M. lapidus, 1999: 430).
Selanjutnya Ira M. lapidus (1999: 430-431 ) memberikan gambaran tentang kehidupan kelompok elit yang hidup di perkotaan. Kelompok elit yang hidup diperkotaan di mana prestise mereka didasarkan pada pendidikan Islam, umumnya kekuasaan mereka didasarkan kepada unsur kepemilikan tanah, perkebunan dan kekuasaannya menangani tanah wakaf. Para penguasa Dinasti Ilkhan telah menempatkan kedudukan kelompok ini dalam tugas-tugas administrasi finansial dan yudisial untuk menyokong kelangsungan pemerintahan lokal dan menahan dampak negatif akibat perubahan rezim militer. Kelompok ini juga ditugaskan untuk membantu tugas administratif dalam pembentukan pemerintahan Dinasti Ilkhan .
D. Perhatian Para Penguasa Dinasti Ilkhan Terhadap Pengembangan Peradaban Islam.
Menarik untuk dicermati, sekalipun perkembangan peradaban Islam pada periode pertengahan seringkali dikatakan berada dalam kondisi kemunduran, namun bukan berarti pada periode ini di kalangan masyarakat Muslim tidak ada perhatian sama sekali terhadap upaya-upaya memajukan dan mengembangkan peradaban Islam. Hal ini pun tampaknya terjadi pada Dinasti Ilkhan. Walaupun Dinasti Ilkhan pada awal kehadirannnya kerap dikatakan sebagai sebagai dinasti pembawa bencana, namun dalam perjalanan sejarahnya dinasti ini memiliki andil juga di dalam upaya membangun dan mengembangkan peradaban Islam, terutama sekali setelah dinasti ini diperintah oleh raja-rajanya yang memeluk agama Islam.
Memang perhatian para penguasa Dinasti Ilkhan mungkin sangat kecil dan tak sebanding dengan penghancuran dan pembunuhan yang telah dilakukan, tetapi walaupun begitu sebagai bangsa Mongol yang telah memeluk Islam dan besar dalam kutur keagamaan Persia mereka masih memiliki perhatian perhatian terhadap upaya membangun dan memajukan peradabannnya.
Bila diamati, memang Dinasti Ilkhan pada saat masih dipegang oleh raja-raja yang belum memeluk agama Islam seperti Hulagu Khan, Abagha Khan, Argun, Gaygatu dan Baydu perhatian mereka terhadap upaya memajukan dan mengembangkan peradaban Islam tidak ada. Hal ini bisa terjadi karena karena didorong oleh semangat kebencian terhadap Islam.
Sebuah perubahan yang sangat mendasar mulai nampak pada masa Mahmud Ghazan. Pada masa Mahmud Ghazan, Dinasti Ilkhan mulai bergerak menuju ke arah sentralisasi kekuasaan negara dan mewujudkan kembali kejayaan kultur monarki Seljuk periode Iran Turki. Pada masa pemerintahan Mahmud Ghazan (1295-1304 M), Dinasti Ilkhan mulai membangun beberapa kota dengan mengembangkan beberapa proyek irigasi, mensponsori kemajuan pertanian dan perdagangan dengan cara-cara yang pernah dikembangkan oleh beberapa imperium Timur Tengah. Kemudian secara khusus, dinasti ini mulai membuka rute perdagangan yang menghubungkan Asia Tengah dengan Cina.
Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, pemerintahan Mahmud Ghazan mulai memperhatikan perkembangan peradaban. Ia seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastera. Ia sangat mencintai kesenian terutama seni arsitektur dan ilmu pengetahuan seperti astronomi, kimia, mineralogi, metalurgi dan botani (Hasan Ibrahim Hassan, 1989: 309). Ia juga banyak membangun infrastruktur keagamaan dan pendidikan seperti menyediakan biara untuk para darwis, perguruan tinggi untuk madzhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah perpustakaan, observatorium dan gedung-gedung umum lainnnya(Hassan Ibrahim Hassan, 1989: 312).
Meskipun banyak peperangan dan memperoleh tekanan dari dalam, tampilnya Mahmud Ghazan sebagai raja yang ketujuh, pada periode dapat dikatakan sebagai periode kemakmuran bagi Dinasti Ilkhan. Dengan masuknya Ghazan ke dalam Islam, proses rekonsiliasi antara kelas penguasa Turki-Mongol dan rakyatnya mulai terjadi. Ibukota Ilkhaniyah, Tabriz dan Maragha menjadi pusat ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sejarah dan ilmu-ilmu kealaman (C.E. Bosworth, 1993: 177).
Pada masa Mahmud Ghazan, elite-elite militer Dinasti Ilkhan telah berpindah ke agama Islam dan mengambil legitimasi kulturalnya dari tradisi Mongolian dan juga dari sumber-sumber kesusastraan Iran. Berkat dukungan penguasa Mongol-Muslim, penulisan sejarah yang mencerminkan kepedulian raja Mahmud Ghazan terhadap nasib dunia ini berkembang dengan subur. Sebagai contoh karya Al-Juwaini (1226-1283), History of the World Conquerors yang banyak menguraikan tentang perjalanan Jenghis Khan dan penaklukan Iran. Begitu pula karya seseorang yang sezamannnya dengannnya, Rasyid al-Din (1247-1318), seorang ilmuwan Fisika dan seorang menteri, menulis karya Compendium of Histories yang mengintegrasikan sejarah bangsa Cina, India, Eropa, Muslim dan sejarah Mongol ke dalam sebuah perspektif kosmopolitan mengenai nasib umat manusia (Ira M. Lapidus, 1999: 431).
Konstribusi Raja Mahmud Ghazan dalam menegakkan kembali kejayaan kerajaan Iran yang paling cemerlang adalah usahanya mengembangkan seni lukis dan seni ilustrasi manuskrip. Beberapa tulisan sejarah karya Rasyid al-Din terus menerus disalin dan diilustarikan. Demikian juga syair-syair efik dari karya Syah Name dan Life of Alexander , dan beberapa fable dari karya Kalila wa Dimah. Kota Tabriz sendiri telah menjadi pusat bagi sebuah sekolah seni lukis dan seni ilustrasi yang sangat pesat pada saat itu (Ira M. Lapidus, 1999: 432).
Dinasti Ilkhan, setelah dipegang raja-raja Muslim telah bekerja keras membangun sejumlah bangunan makam yang monumental, dan melestarikan bentuk-bentuk arsitektural bangsa Iran terdahulu pada beberapa monumen di Tabriz, Sultaniyah, dan Varamin. Yang paling terkenal di antara konstruksi peninggalan Dinasti Ilkhan adalah bangunan makam Muhammad Khudabanda Uljaytu (1304-1317) di Sultaniyah, yang dilengkapi dengan kubah besar di tengahnya yang melambangkan kemajuan teknik arsitektural yang tinggi di mana permukaan eksteriornya dihiasi dengan berbagai plester ubin, keramik dan batua-batuan yang berwarna-warni (C.E. Bosworth, 1999: 177).
Dinasti Ilkhan tidak mengembangkan sebuah identitas kebahasaan atau identitas keagamaan yang baru di Timur Tengah. Berbeda dengan bangsa Arab yang berhasil mengubah identitas kebahasaan dan keagamaan wilayah Timur Tengah, bangsa Mongol justru terserap ke dalam kultur Persia (Ira M. Lapidus, 1999:431). Sikap terbuka dari para penguasa Mongol Muslim pada masa Dinasti Ilkhan dan hubungan-hubungan mereka dengan kultur-kultur yang berbeda seperti kultur Eropa Kristen dan Cina telah membawa pengaruh yang segar terhadap pengembangan kegiatan intelektual, komersial dan seni ke dunia Persia. Hal ini terlihat ketika koloni-koloni para pedagang Italia banyak terdapat di kota Tabriz yang keberadaannnya telah memainkan peranan penting sebagai penghubung dalam kegiatan perdagangan dengan Timur jauh dan India (C.E. Bosworth, 1993: 177).
Begitu juga sikap terbuka ditunjukkan para penguasa Mongol Muslim dari Dinasti Ilkhan terhadap masuknya pengaruh Cina yang diperkenalkan oleh kaum pelancong, tentara dan pedagang Mongol yang melintasi Asia Tengah dalam kegiatan perdagangan sutra dan rempah-rempah Cina. Beberapa pengaruh Cina sangat menonjol pada pengambaran artistik panorama alam, burung, bunga-bunga, dan awan; pada komposisi bidang lukis yang terikat pada bidang yang menyusut, dan pada cara-cara baru dalam mengelompokkan gambar-gambar manusia. Salah satu tipe dari gambaran manusia adalah pertama, bersifat aristokratik, yang digambarkan dengan wajah memanjang, tanpa bergerak, agaknya secara sepintas ia diibaratkan dengan sebuah gerakan kepala atau jari. Kedua adalah gambaran yang bersifat karikatur degan ungkapan yang sangat berlebihan perihal komedi dan kesengsaraan(Ira M. Lapidus, 1999: 432).
Itulah tentang Dinasti Ilkhan yang telah menunjukkan kekosmopolitannnya pada masa para penguasa Mongol-Islam. Dengan demikian, keberadaan dan kontribusi Dinasti Ilkhan periode Hulghu sampai Baydu sangat berbeda dengan periode dari Mahmud Ghazan sampai dengan paling tidak, masa kekuasaan Abu Said. Keberadaan Dinasti Ilkhan pada masa Raja Hulagu Khan sampai dengan Baydu banyak menimbulkan bencana bagi masyarakat Muslim, tetapi perlu dipertegas bahwa dari masa Raja Mahmud Ghazan sampai dengan Abu Said, mereka banyak berjasa besar di dalam mendorong dan memajukan peradaban Islam.
E. Kesimpulan
Potret peradaban Islam pada masa Dinasti Ilkhan tidak benar selamanya suram. Kendatipun pada awalnya kehadirannnya kerap dikatakan sebagai sebagai dinasti pembawa bencana, namun dalam perjalanan sejarahnya dinasti ini telah memiliki andil di dalam upaya membangun dan mengembangkan peradaban Islam, terutama sekali setelah dinasti ini diperintah oleh raja-rajanya yang memeluk agama Islam.
Pada masa Dinasti Ilkhan dipegang oleh raja-raja yang telah memeluk Islam peradaban Islam berkembang dengan pesat, sekalipun tidak dapat dipersamakan dengan periode sebelumnya. Hal ini terlihat dari masih banyak berbagai bentuk khazanah peninggalan peradaban yang ditinggalkan pada periode ini. Ini telah mengindikasikan bahwa para penguasa Muslim Mongol dari dinasti ini banyak memberikan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan infrastruktur masyarakat, bahkan peradaban Islam. Wallahu a’ lam bi as shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Wakil, Muhammad Sayid. 1998. Wajah Dunia Islam dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern. Terj.Fadhil bachri. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Badri Yatim. 1997. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Bosworth C.E. 1993. Dinasti-dinasti Islam. Bandung : Mizan.
Goldsschmidt Jr., Arthur. 1983. A Concise History of the Middle East. Colorado: Westview Press.
Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Hassan Ibrahim Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.
----------------------------. 1967. Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Din wa al-Tsaqafi wa al-Ijtimai. Mesir : Dar al-Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah.
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
---------------------. 1993. Pembaharuan dalam Islam:: Sejarah Gerakan dan Pemikiran. Jakarta : Bulan Bintang.